Petisi Bukan Produk Hukum, Ketahui Kekuatan Petisi di Indonesia
Baru-baru ini masyarakat dihebohkan dengan petisi viral agar Ayu Ting Ting dicekal dari dunia pertelevisian. Tak main-main, petisi tersebut sudah ditandatangani puluhan ribu pengguna internet dan saat ini sudah mencapai 24 ribu. Tapi seberapa efektif sih petisi tersebut di mata hukum? Apakah petisi tersebut wajib untuk dilaksanakan oleh pemerintah dan masyarakat?
Legal Consultant Sarah Vanesa Naibaho, SH., menjelaskan, petisi memang sudah populer menjadi alat menyuarakan pendapat masyarakat Indonesia kepada pemerintah. Petisi juga bisa dijadikan alternatif untuk menyuarakan ketidakpuasan masyarakat kepada Pemerintah dan hal ini juga diatur dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Daripada capek-capek demonstrasi yang sering diwarnai kerusuhan, petisi memang cukup efektif dan efisien untuk dilakukan tanpa mengeluarkan modal sepeser pun.
Terus, petisi ini sebenarnya berawal darimana sih? Pemberian hak petisi kepada warga negara pertama kali diakomodasi oleh Inggris. Melalui Deklarasi Magna Carta, negarawan Inggris mulai memprakarsai sistem petisi untuk diimplementasikan sebagai bentuk partisipasi politik dan media interaksi antara rakyat, parlemen dan kerajaan.
Seiring perkembangan zaman, tren petisi konvensional mulai berkembang menjadi petisi yang dihimpun melalui jejaring internet. Petisi daring menjadi wadah baru bagi masyarakat untuk menyuarakan aspirasinya tanpa dibayangi rasa takut dan kekhawatiran melalui media sosial yang biasanya menghasilkan tuduhan ujaran kebencian, hujatan, dan pencemaran nama baik.
Sistem petisi daring kemudian dikembangkan di Indonesia, contohnya situs change.org yang sejauh ini telah memfasilitasi sejumlah petisi di Indonesia. Namun, karena Indonesia belum memiliki lembaga yang penampung petisi dan petisi tersebut hanya ditampung oleh Non-Government Organization (NGO), tidak ada jaminan bahwa pemerintah akan menanggapinya karena Indonesia tidak memiliki payung hukum terhadap petisi.
Sehingga, meski pengguna change.org terus meningkat dan petisi ditandatangani sebanyak apapun, pemerintah tidak wajib menjawab petisi yang sudah terakumulasi karena tidak adanya regulasi hukum yang mengatur tentang petisi online.
Indonesia perlu memiliki kepastian hukum yang sesuai untuk memastikan bahwa kritik dan saran melalui sistem petisi memiliki daya paksa untuk ditinjau dan direspons secara wajib oleh pemerintah. Dengan tidak adanya aturan yang mengatur petisi di Indonesia, hal ini juga dapat menimbulkan semua petisi bergantung pada kemauan politik pemerintah untuk membahas masalah ini dan rentan disusupi oleh penunggang bebas yang memiliki kepentingan sendiri, terutama jika pembuat petisi berafiliasi dengan kepentingan kelompok tertentu.
Sehingga, apabila kedepannya dibuat aturan yang mengatur petisi di Indonesia, dibutuhkan strategi implementasi pengaturan yang signifikan, dimana beberapa diantaranya meliputi lembaga yang bertanggungjawab untuk menghimpun dan merespons petisi, syarat-syarat pengajuan petisi, jumlah minimal tanda tangan petisi, hingga prosedur maupun alur proses pengajuan harus diformulasikan dengan rinci dan baik.
Sebagai contoh, aturan mengenai petisi di Amerika Serikat yaitu, petisi biasanya disampaikan dan ditampung di Gedung Putih. Pemerintah AS wajib menjawab petisi apabila telah didukung oleh 100.000 penandatangan dalam kurun waktu 30 hari. Di inggris, petisi biasanya disampaikan dan ditampung oleh parlemen. Pemerintahan wajib merespons bahkan dipertimbangkan untuk diperdebatkan di parlemen, bila petisi didukung oleh 10.000 penandatangan.
Meskipun belum diatur secara khusus di Indonesia, petisi merupakan hak yang diatur dalam Pasal 44 UU No 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) dimana menyatakan:
“Setiap orang berhak sendiri maupun bersama-sama berhak mengajukan pendapat, permohonan, pengaduan, dan atau usaha kepada pemerintah dalam rangka pelaksanaan pemerintahan yang bersih, efektif, dan efisien, baik dengan lisan meupun dengan tulisan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”
Petisi yang merupakan suara dari ketidakpuasan masyarakat juga merupakan bentuk dari kebebasan berpendapat masyarakat sebagaimana diatur dalam Pasal 28 E ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan:
“Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat”
Meski demikian, kedua aturan tersebut belum menyebutkan petisi secara spesifik sehingga dapat disimpulkan tidak atau belum ada aturan yang mewajibkan pemerintah Indonesia untuk memberikan respons terhadap petisi dalam kondisi apapun.
Beberapa petisi online Change.org di Indonesia yang sempat viral diantaranya, Ketika 220.000 orang melakukan protes lewat petisi online agar perusahaan pembakar hutan di Rawa Tripa Aceh dijatuhi hukuman yang kemudian divonis bersalah dan dikenakan denda sebesar Rp366 miliar oleh Mahkamah Agung (MA). Ada juga saat dimana lebih dari 240.000 orang mendukung petisi agar Mahkamah Konstitusi mengabulkan uji materi dan membatalkan UU MD3 yang baru disahkan DPR saat Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengesahkan aturan Undang-Undang (UU) MD3. Selanjutnya, ada juga 335.000 masyarakat Indonesia yang mendukung petisi mengenai maraknya perburuan burung Cendrawasih sebagai aksesoris dan membuat burung asli papua itu hampir punah.
Jika masih ingat kasus perundungan terhadap Audrey. Petisi atas kasus tersebut pernah mendapat dukungan lebih dari 2,4 juta orang yang banyak memberikan dukungan terhadap Audrey atas perundungan yang menimpanya. Walaupun pada akhirnya, cerita yang disampaikan korban tentang perundungan yang dilakukan beberapa temannya ternyata berbeda dengan hasil visum yang dikeluarkan oleh Rumah Sakit Mitra Medika yang menyatakan tidak ada bekas penganiayaan.
Terakhir, petisi yang muncul akhir-akhir ini pada kasus revisi UU KPK. Muncul desakan kepada Presiden Jokowi untuk menolak revisi UU KPK yang berjudul ‘Indonesia Bersih, Presiden Tolak Revisi UU KPK!’, dan petisi tersebut telah ditandatangani 179 ribu orang. Jumlah tersebut bukanlah angka yang kecil dan menunjukkan besarnya animo masyarakat yang menolak revisi UU KPK, Meski demikian, petisi tersebut tidak memperngaruhi keputusan pemerintah yang tetap menyetujui UU KPK dan UU KPK tersebut telah resmi diundangkan pada 17 Oktober, yaitu Nomor 19 Tahun 2019.
Dapat dikatakan, Indonesia masih tertinggal jauh dalam pengaturan petisi dari negara lain. Hal tersebut dapat menjadi tugas pemerintah untuk dikaji ulang, agar suara yang terakumulasi oleh masyarakat terhadap suatu hal, memberikan efek yang signifikan. Sebagai negara demokrasi, pemerintah mesti mempertimbangkan aturan terkait petisi di era teknologi digital ini agar masyarakat dapat menyuarakan pendapat mereka dengan didukung adanya kepastian hukum.
Konsultasi hukum, hubungan Sarah Vanesa Naibaho, SH. dengan klik langsung link ini: https://linktr.ee/LegalConsultation