22/11/2024

Stop Stigma Terhadap Waria dan Gay

 Stop Stigma Terhadap Waria dan Gay

Organisasi Perubahan Sosial Indonesia (OPSI) berupaya mengubah cara pandang masyarakat terhadap kelompok waria dan gay. Upaya mengubah cara pandang ini dilakukan untuk mengurangi bahkan menghentikan stigma terhadap kelompok waria dan gay.

Anggota OPSI menuturkan, saat dinas-dinas kesehatan di daerah secara berkala melakukan konferensi pers melaporkan data kasus HIV/AIDS, aparat dinas kesehatan menekankan pada temuan kasus di kelompok LSL (Lelaki Suka Lelaki). Tak ayal dalam tiga-empat tahun ke belakang, LSL terus menjadi sorotan media karena laporan kasus di kelompok ini cukup berarti.

Kelompok gay dan waria kerap diberitakan secara negatif. Ada saja liputan yang hanya
mengejar sensasi dengan menyampaikan angka kasus di kelompok gay misalnya, tanpa membandingkan dengan kasus HIV di kelompok lain. Waria dan gay juga kadang menjadi sasaran persekusi di sejumlah daerah.

Ada saja media yang memberitakan seolah perlakuan tersebut wajar karena orientasi seks mereka yang menyimpang. Menurutnya, liputan-liputan macam itu semakin membuat komunitas waria dan gay tersudut.

Dengan kondisi tersebut, dalam konteks penanggulangan HIV-AIDS, mereka akan menjauh dari layanan kesehatan publik. Dengan demikian akan semakin menyulitkn dalam penanganan HIV/AIDS. Pengobatan HIV setidaknya mensyaratkan kehadiran pasiennya sebulan sekali untuk
memeriksakan diri dan mengambil obat antiretrovirus (ARV) di layanan kesehatan.

Jika stigma terus dilakukan, kelompok yang jumlahnya puluhan ribu secara nasional ini
tentu enggan mendatangi layanan umum. “Walaupun perlu diuji kebenarannya, boleh jadi lima puluhan ribu orang dengan HIV yang dilaporkan putus ARV terjadi akibat stigma,” ujar anggota OPSI.

Baca Juga :  Bali Akan Buka Pariwisata Berbasis Vaksin

Sementara media massa mempunyai peran mendidik masyarakat melalui liputan yang disebarluaskan. Saat ini, siapapun bisa mengetahui hampir semua hal yang mereka ingin ketahui dengan menekan tombol di ponsel pintar yang ada dalam genggaman mereka. Dewan Pers mencatat terdapat 47 ribuan media daring di seluruh Indonesia.

Puluhan ribu media daring itu berlomba-lomba diperhitungkan dalam algoritma mesin pencari Google, supaya tampil di halaman pertamanya untuk informasi apapun yang dicari.

Saat ini, tak bisa dipungkiri halaman-halaman pertama mesin pencarian daring dipenuhi oleh situs-situs pemberitaan untuk kata kunci dari sebuah informasi yang dibutuhkan. Di halaman awal Google, misalnya, media daring lebih banyak dari situs pemerintahan untuk sebuah kata kunci pencarian.

Atas melimpahnya informasi yang ditawarkan media massa termasuk mengenai kelompok gay dan waria, OPSI berkepentingan untuk memonitor liputan mengenai kelompok-kelompok ini. Pemantauan ini akan memberikan gambaran spesifik stigma yang dilakukan media.

Melalui peta tersebut, OPSI berharap dapat melakukan upaya yang lebih terstruktur untuk mengatasi persoalan stigma yang berkaitan dengan HIV. Deteksi Stigma
Berikut ini adalah perangkat untuk mendeteksi dan memetakan stigma yang dilakukan media massa terhadap kelompok gay dan waria.

Perangkat ini terdiri dari tiga bagian. Di tiap
bagian akan diuraikan gambaran spesifikasi stigma terhadap kelompok ini.

Penularan HIV

Stigma yang terkandung pada bagian ini meliputi sorotan pemberitaan mengenai tingginya penularan HIV pada kelompok gay dan waria. Dalam laporan resmi Kementerian Kesehatan RI, dua populasi ini dikelompokkan sebagai lelaki yang
berhubungan seks dengan lelaki (LSL). Stigma dilakukan media apabila:
1. Angka HIV di kelompok LSL tidak dibandingkan dengan kasus yang terjadi pada kelompok lain yang dilaporkan untuk periode yang sama.
2. Waria dan gay digambarkan sebagai kelompok yang rentan tertular HIV.
3. Waria dan gay digambarkan sebagai pelaku penularan HIV di masyarakat.

Hubungan Seks

Waria dan gay kerap dilekatkan dengan perilaku seks mereka. Padahal hubungan seks juga dilakukan oleh heteroseksual dengan kuantitas yang lebih besar. Media menstigma waria dan gay apabila:
1. Digambarkan suka berhubungan seks.
2. Menyebut perilaku seks waria dan gay menyimpang.
3. Digambarkan secara umum (generalisasi) sebagai predator seks.

Penyakit Orientasi Seks

Banyak orang takut akan stigm homoseksual karena tidak sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat. Orientasi seks ke jenis kelamin yang sama
dianggap bisa terjadi kalau seseorang berinteraksi dengan kelompok homoseks. Oleh karena itu, keberadaan lesbian, gay, biseksual, dan transgender banyak ditolak bahkan dengan kekerasan.

Baca Juga :  Tanpa Lewati Daerah Wabah PMK, Sapi Bali Bersiap Menuju Jakarta

Media menstigma kelompok waria dan gay apabila:
1. Memberitakan keresahan warga atas keberadaan gay dan waria tanpa. menyeimbangkannya dengan bukti saintifik soal orientasi seks.

2. Menyebut waria dan gay sebagai ancaman atau penyakit sehingga perlu diobati atau direhabilitasi.
3. Menyebut waria dan gay tidak normal.

Ketiga bagian di atas dapat digunakan untuk mendeteksi stigma yang terkandung dalam sebuah pemberitaan di media massa. Tentu saja perangkat tersebut belum sempurna.

Penyempurnaan perangkat deteksi stigma ini bisa terjadi saat pemantauan berita dilakukan menggunakan tiga bagian yang telah dirumuskan.tta