Lingga Alam di Dalam Pohon Beringin
Pura Tapsai–
Batu di Dalam Pohon Beringin Terus Membesar, Menjadi Lingga Alam
Karangasem – Konon berdasarkan cerita rakyat, Pura Pajinengan Gunung Tapsai berawal dari sebuah batu kecil seperti ulekan yang membesar.Warga di kawasan Pura yang dulunya merupakan pemukiman penduduk, membawa batu tersebut pulang ke rumahnya. Namun batu tersebut kembali ke tempatnya semula. Warga yang membawa pulang juga sempat melumuri batu tersebut dengan boreh. Beberapa kali dibawa pulang, batu tersebut tetap kembali ke tempatnya semula.
Warga akhirnya membiarkan batu tersebut di tempatnya. Lama – kelamaan batu tersebut membesar dan ditumbuhi pohon beringin. Hingga saat ini pohon beringin yang telah tumbuh besar, menjulang dengan perakarannya yang kuat menjadi tedung (payung, tempat berlindung) dari batu tersebut, sehingga batu tersebut disebut lingga alam atau lingga jagat.
Batu ini terletak di kawasan Utama Mandala dari Pura Pajinengan Gunung Tapsai. Umat yang akan melakukan persembahyangan di pura ini harus melalui beberapa tempat untuk sampai di puncak atau utama mandala. Yaitu dimulai dengan persembahyangan di palinggih Ratu Panyarikan atau Pangadang – adang yang bertujuan untuk melaporkan kedatangan kita, lalu ka palinggih Ratu Gede Makele Lingsir, Widyadari, Widyadara, Pengayengan Dalem Ped.
Lalu umat diarahkan untuk malukat di beji. Umat yang malukat biasanya datang dengan perlengkapan atau sarana upakara masing – masing, berdasarkan panggilan. Ada yang membawa bungkak sebagai sarana malukat, ada yang membawa bunga teratai. Pamangku tidak mensyaratkan sarana khusus untuk malukat.
Dinginnya air ditambah suara tonggeret yang memenuhi telinga, membuat pikiran hening. Tidak ada kebisingan kendaraan, karena pura ini terletak di tengah hutan dan rimbunnya pepohonan keras. Usai malukat, umat diarahkan melanjutkan sembahyang di palinggih Ratu Dukuh, lalu ke Ratu Hyang Gana. Di utama mandala terdapat palinggih (sthana) Ida Bhatara Tri Sri Upasedana. Disinilah letak lingga alam berupa batu yang semakin lama semakin membesar tersebut.
Letaknya, persis di belakang palinggih – palinggih di utama mandala. Di belakang palinggih, terdapat perakaran dari pohon beringin yang besar. Dibuatkan semacam tempat menyimpan dupa, usai umat melakukan persembahyangan. Umat yang memohon doa khusus, biasanya berdoa dengan 11 dupa di depan akar pohon beringin tersebut. Usai melakukan persembahyangan di utama mandala, lalu melanjutkan ke Ratu Hyang Bungkut.
Prajuru Banjar Adat Puregai I Nengah Dita Astawa menuturkan, Pura Tapsai diempot Banjar Adat Puregai yang memiliki 319 KK. Pura ini merupakan bagian dari Desa Adat Besakit, dan Kelurahan Pempatan, Kecamatan Rendang, Karangasem.
Pura yang mulai ditata tahun 2004 hingga 2006 ini ini memiliki sejumlah cerita di balik penataannya. Pura yang dikeliling pohon – pohon ini, sempat ingin ditebang oleh warga yang akan menata. Namun ketika sampai waktunya, keinginan untuk menebang menjadi kendur. Berulang kali perencanaan penataan dengan menebang pohon dilakukan, namun selalu gagal.
Menurut Dita Astawa, fenomena ini tidak terlepas dari fungsi dari pura ini. Pura Tapsai masuk ke dalam catur aiswarya dala dari Pura Besakih yaitu pura – pura yang menempati posisi sudut atau pojok dari Pura Besaih. Pura Tapsai menempati salah satu sudutnya yaitu barat laut sehingga di pura tersebut juga berstana juga Ida Bhatara Sangkara, sebagai dewanya tumbuh- tumbuhan.
Pura yang ditetapkan sebagai Kahyangan Jagat tahun 2017 berdasarkan SK Bupati Karangsem dan Sertifikasi Tanda Daftar dari Bimas Hindu ini juga memiliki cerita menarik terkait pamedek yang datang. Dua tahun lalu, ada dua wanita dari Jakarta datang melakukan persembahyangan.
Dua wanita tersebut datang berdasarkan mimpi dan bisikan. Sempat mengalami musibah besar, wanita itu didatangan sosok kakek yang memberikannya dua keping uang kepeng. Setelah mendapat uang kepeng tersebut, kehidupannya membaik dan kesulitan yang dialami mulai terselesaikan. Setelah itu, wanita tersebut kembali bermimpi sosok yang sama, yang menyarankan wanita tersebut mengembalikan dua keping uang kepeng tersebut ke Pura Tapsai. Wanita itupun datang ke Bali dan mengunjungi Pura Tapsai untuk mengembalikan uang tersebut.
Konon, umat yang berkunjung ke Pura Tapsai dengan kondisi cuntaka atau sakit, tidak akan sampai ke Utama Mandala “purian”. “Ada saja yang dialami, jatuh lah, atau menangis. Jangankan untuk sampai di Purian, sampai di penyarikan, biasanya sudah terjadi sesuatu,” tutur Dita.
Tidak hanya keunikan dari cerita – cerita niskala dari warga dan umat, Pura Tapsai memiliki makna simbolik bagi umat Hindu khususnya untuk memohon pekerjaan, berkah, kecerdasan, dan keselamatan. tta