23/11/2024

Gaya Hidup Childfree, Antara Bebas dari Beban dan Ancaman Demografi

 Gaya Hidup Childfree, Antara Bebas dari Beban dan Ancaman Demografi

ilustrasi gaya hidup chilfree/ist

Belakangan gaya hidup childfree atau tidak mau mempunyai anak walaupun sudah berstatus menikah ramai digunjingkan. Di Indonesia, gaya hidup ini tentu sangat ditentang karena tujuan menikah bagi orang Indonesia adalah untuk melahirkan keturunan.

Namun dengan pengaruh globalisasi dan dinamika sosial yang terjadi, pasangan di Indonesia juga mulai enggan untuk memiliki anak. Seperti video influencer, gita savitri devi yang menyebutkan bahwa anak adalah beban baginya. Hal itu pun mengundang reaksi beragam dari netizen.

Baca Juga :  PLN Mobile Raih Penghargaan Outstanding For Integrated Initiative Di Ajang Indonesia Award 2023

Berdasarkan jurnal Fadhilah  (2022), childfree adalah sebuah kesepakatan yang dilakukan oleh pasangan suami isteri untuk tidak memiliki anak selama masa pernikahannya. Padahal selama ini dalam kontruksi budaya masyarakat Indonesia, anak dianggap sebagai satu anugrah yang berfungsi sebagai perekat keharmonisan sebuah keluarga sehingga kehadirannya senantiasa dinanti-nantikan oleh pasangan yang sudah menikah bahkan keluarga besarnya.

Childfree tidak termasuk pada kategori perbuatan yang dilarang dalam Agama Islam,  karena setiap pasangan suami istri memiliki hak untuk merencanakan dan mengatur kehidupan rumah tangganya termasuk memiliki anak. Kendati demikian, meski tidak ada ayat yang secara langsung melarang childfree, pilihan untuk childfree bisa dikatakan sebagai pilihan yang tidak bijaksana. Anak dipandang sebagai anugrah yang harus disyukuri karena anak adalah pemberian Tuhan. Setiap manusia yang diberikan amanah menjadi orangtua harus menjalani peran tersebut dengan baik dan totalitas.

Baca Juga :  Kisah Pengusaha Bali, Mampu Pekerjakan 2.000 Karyawan Kembali di Saat Pandemi

Beberapa alasan yang melatarbelakangi keputusan tersebut antara lain masalah personal, finansial, latar belakang keluarga, kekhawatiran akan tumbuh kembang anak, isu atau permasalahan lingkungan, hingga alasan terkait emosional atau maternal ‘instinct’.Salah satu alasan menarik yakni berkaitan dengan isu atau permasalahan lingkungan.

Populasi penduduk bumi yang semakin meningkat, tetapi tidak sejalan dengan ‘kesehatan’ bumi dan ketersediaan pangan. Childfree akhirnya dipilih sebagai langkah yang dapat ditempuh.Tri menambahkan, rasa tidak yakin akan kemampuan dalam merawat dan mengasuh anak juga menjadi salah satu kekhawatiran yang sering kali dialami.

Gaya hidup ini hendaknya disikapi serius oleh pemerintah, karena fenomena ini akan berdampak pada demografi dan pembangunan. Dikutip dari voa Indonesia, bahwa di negara China telah terjadi penurunan angka kelahiran sebesar  850.00o pada akhir 2022. Penurunan ini dampak dari kebijakan satu anak  pada tahun 1980. Sementara jumlah penduduk mendorong pertumbuhan ekonomi di suatu negara.

Kebijakan  yang pemerintah China itu berdampak jangka panjang. Bukan tidak mungkin, pola pikir childfree yang dianut pasangn modern juga dapat menjadi ancaman. Pasalnya pola pikir merupakan suatu hal yang sulit diubah, berbeda halnya dengan kebijakan, yang bisa diubah sesuai dengan kebutuhan dan konteks jaman.