27/07/2024

Penganut Kepercayaan Rentan Terhadap Diskriminasi

 Penganut Kepercayaan Rentan Terhadap Diskriminasi

Guru Besar Antropologi Budaya UHN IGB Sugriwa Prof.Dr. I Nyoman Yoga Segara, S.Ag., M.Hum.

Penganut kepercayaan yang memang telah tumbuh sebelum masuknya agama impr rentan terhadap diskriminasi. Hal ini diungkapkan Antropolog Prof. Yoga Segara.

Ia mengatakan, terminologi “agama resmi” dan “penghayat kepercayaan” atau “kepercayaan lokal” atau “agama lokal” masih menjadi perdebatan yang alot, namun dengan adanya Keputusan MK seperti di atas, para penganut kepercayaan lokal setidaknya dapat bertahan karena identitasnya telah diakui secara sah oleh negara.

Rekognisi yang diberikan negara amat berarti bagi mereka karena sebagaimana dikatakan Nowak (2005:414) bahwa penafsiran mengenai agama dan keyakinan dalam pasal 18 ICCPR tidak hanya dibatasi pada agama-agama dunia dengan jumlah pemeluk yang besar, tetapi juga keyakinan yang menyerupai agama tradisional dan atau agama lokal, bahkan mencakup keyakinan orang untuk tidak bertuhan (atheistik), agnostisisme, non Tuhan (non  theistik), kebebasan berpikir dan rasionalisme.

Baca Juga :  PLTU Suralaya dan 5 Pembangkit Milik PLN Grup Raih 7 Penghargaan Tingkat ASEAN, Bukti Operasional Pembangkit Ramah Lingkungan

“Akibatnya, kelompok-kelompok di luar agama besar dan agama resmi yang akhirnya hanya disebut agama lokal sangat rentan menerima diskriminasi hingga konversi,” ujarnya.

Implikasi dari pernyataan Nowak tersebut menurutnya sangat serius karena kepercayaan lokal sering hanya disama-samakan dengan kearifan lokal semata. Padahal kedua istilah ini tidak selalu sama. Kearifan lokal mengandung banyak pengertian. Quaritch Wales (dalam Aziz, 2019: 139) menyatakan bahwa kearifan lokal adalah “karakter-karakter umum yang dimiliki oleh mayoritas anggota masyarakat sebagai hasil dari pengalaman masa lalu mereka”.

Baca Juga :  Archipelago Food Festival dengan tema Pesona Nusantara Akan Digelar di Quest San Hotel, Denpasar

Semua karakter itu dapat berubah dan atau menyesuaikan diri terutama dengan kultur atau peradaban dominan yang datang kemudian. Sedangkan Sibarani dan Gavrielides (2018: 3) merumuskan kearifan lokal sebagai “nilai-nilai budaya dan pengetahuan lokal yang dioperasionalisasikan secara arif bijaksana untuk mengatur kehidupan sosial suatu komunitas”. Pendapat lain dikemukakan Ellen, Parkes dan Bicker (dalam Aziz, 2019: 139) yang menjelaskan bahwa kearifan lokal sebagai indigenous knowledge (pengetahuan pribumi) yang merujuk pengobatan dan obat-obatan di lingkungan kultural tertentu dengan sejumlah karakteristik.

Jika merujuk kembali sebelum adanya pengakuan dari negara melalui Keputusan MK, agama lokal atau kepercayaan lokal sebenarnya juga tidak memiliki kemampuan secara otonom sehingga sangat rentan diintervensi secara politik maupun dikonversi. Untuk menyebut beberapa kasus yang sama di Indonesia, nasib Hindu Alukta di Tana Toraja juga serupa dialami suku Tolotang (Dharmapoetra, 2013, 2014), komunitas wetu telu di Lombok (Zuhdi, 2006; Rasmianto, 2009; Aziz,2009), hingga mungkin saja Hindu Kaharingan (Mahin, 2009).

Sengitnya perdebatan dua arus besar vis-à-vis antara kepercayaan lokal dan agama resmi, sebenarnya telah diselesaikan oleh para penganutnya sendiri. Misalnya, pasca Putusan MK 97/2016 beberapa penganut kepercayaan lokal secara sadar mengajukan diri sebagai penghayat kepercayaan. Begitupun sebelum Keputusan MK,.beberapa di antara mereka juga telah melakukannya, termasuk Aluk Todolo yang berintegrasi dengan Hindu dan lalu menamakan dirinya Hindu Alukta, seperti yang kita kenal saat ini.

Penganut Aluk Todolo yang lain juga melakukan integrasi dengan agama Kristen, Katolik dan Islam. Keempat agama inilah yang secara populasi mendiami Tana Toraja. Untuk sekadar menggambarkan keras lunak perjuangan umat Hindu Alukta, ia  memperdengarkan “suara orang dalam” (the self) karena merekalah yang lebih memahami dunia sosialnya sendiri.

Mereka berkata: “Para penganut kepercayaan Aluk Todolo menjadi agama Hindu Alukta itu sudah final, tak perlu diragukan lagi bahkan sudah diakui negara melalui SK Direktur Jenderal. Tetapi jika ada penganut Aluk Todolo berpindah ke agama resmi atau menjadi penghayat kepercayaan yang lain tidak akan kami halangi, namun janganlah kami yang sudah beragama resmi ini diminta-minta mengikuti agama lain selain agama Hindu”.

Kegusaran yang diresonansikan dengan kalimat keras seperti itu dapat kita maklumi karena pasca keputusan MK ada semacam euforia bahwa penganut agama yang berdasarkan kepercayaan lokal akan kembali ke kepercayaan awalnya. Ternyata fenomena mengejutkan tersebut juga sedang menghinggapi umat Kristen, Katolik dan Islam yang sebelumnya menganut kepercayaan Aluk Todolo. Hal ini juga yang membuat orang Aluk Todolo mulai bimbang karena di satu sisi mereka sudah menganut agama resmi yang sah diakui negara, namun mereka masih dengan kental menjalankan adat istiadat Aluk Todolo.

Beberapa adat istiadat yang tidak sejalan dengan agama resmi yang dianut, terpaksa mereka kurangi namun justru tindakan itu mereka sadari sangat tidak tepat. Ada dugaan bahwa jasmani mereka telah beragama resmi, tetapi nuraninya masih beragama Aluk Todolo. Kegamangan yang lainnya adalah jika mereka kembali ke kepercayaan lokal Aluk Todolo belum tentu akan mendapat pelayanan dan pengakuan yang sama lagi dari negara.