10/12/2024

Penetapan Hari Arak Bali Setiap 29 Januari, Bentuk Penyesatan atau Pelestarian?

 Penetapan Hari Arak Bali Setiap 29 Januari, Bentuk Penyesatan atau Pelestarian?

Arak Bali/ist

Oleh: Ni Nyoman Citta Maya Dewi

Sebagai upaya dan strategi memperkokoh perlindungan dan pemberdayaan arak Bali yang sudah mulai dikenal masyarakat internasional, Gubernur Bali, Wayan Koster menetapkan 29 Januari sebagai Hari Arak Bali. Bahkan keseriusan Gubernur Bali Wayan Koster mengangkat “derajat” arak Bali mulai dilakukan sejak ia terpilih menjadi Gubernur Bali pada 2019.

Pada tanggal 29 Januari 2020, Gubernur Bali, Wayan Koster telah mengesahkan arak Bali (minuman keras tradisional dari Bali) melalui Peraturan Gubernur nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Kelola Minuman Keras Fermentasi dan/atau Distrilasi khas Bali.

Keputusan Wayan Koster untuk mengeluarkan peraturan ini dimulai pada tahun 2018 setelah terpilih sebagai Gubernur Bali untuk masa jabatan 2018-2023 dengan menyatakan ingin melegalkan arak bali sebagai minuman keras tradisional dari Bali.

Pernyataan ini menimbulkan kontroversi di kalangan masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam. Pro dan kontra muncul karena kekhawatiran akan dampak negatif minuman keras bagi kesehatan. Pengesahan ini juga dikhawatirkan dapat meningkatkan angka kriminalitas karena banyaknya kasus perkelahian dan pembunuhan akibat kegiatan minum minuman keras. Walaupun belum ada satu penelitian pun yang dapat membuktikan hubungan antara tindak kekerasan dan minum minuman keras pada masyarakat Bali (Sarjana, 2020). Selain itu, dalam kajian Agama Hindu, beberapa literature agama dan sloka – sloka dalam kitab suci Agama Hindu menyebutkan larangan untuk tidak meminum – minuman keras.

Baca Juga :  Tak Tinggal Diam, BRI Bantu Warga Terdampak Banjir Tukad Unda

Di balik pro dan kontra, Koster memberikan alasan dan manfaat dengan disahkannya arak Bali, yaitu sebagai upaya pelestarian kearifan lokal dan budaya Bali yang telah menjadi bagian dari peradaban Hindu, pengembangan dan pemberdayaan arak Bali melalui industri rumah tangga dalam rangka meningkatkan perekonomian petani arak Bali. Selain itu juga meningkatkan citra Bali di mata wisatawan sehingga arak Bali mampu bersaing dengan minuman keras fermentasi impor lain seperti sake Jepang dan wine Cina, juga bermanfaat bagi kesehatan tubuh (Mustofa, 2018a; Rizky, 2020; Sarjana, 2020).

Komitmen dan keseriusan Koster dalam legalisasi arak bali semakin ditunjukkan dengan melakukan kajian dan penelitian tentang arak Bali di awal tahun 2019. Kajian dan penelitian tentang arak bali dilakukan dari segi proses pembuatannya agar menghasilkan aroma dan rasa yang pas (Mustofa, 2018b). Arak Bali terbuat dari sari kelapa atau beras merah yang difermentasi. Proses produksi masih dilakukan secara tradisional oleh kelompok masyarakat di desa-desa. Arak Bali mengandung alkohol dengan kadar yang bervariasi antara 15% hingga 50% alkohol, dan harganya mulai dari Rp 20-25 ribu per botol tergantung kadar alkoholnya.

Dalam perkembangannya, arak tradisional ini bisa dicampur dengan berbagai bahan lain yang membuatnya semakin kaya rasa. Berbeda dengan minuman keras lainnya, arak Bali juga identik dengan pengobatan tradisional Bali, bahkan diklaim bermanfaat sebagai terapi bagi pasien COVID-19 karena tingkat kesembuhan orang tanpa gejala (OTG) yang mendapatkan terapi arak Bali mencapai 80 persen (Cerita Sudut, 2020). Tidak hanya sebagai pengobatan, arak Bali juga bermanfaat sebagai alat kecantikan, memelihara kulit, digunakan sebagai obat rematik dan kencing manis, bahkan dapat dicampur dengan bahan makanan lain (Ramadhian, 2020).

Baca Juga :  Joyland Terang Benderang, PLN Suplai Daya Listrik 1.020 kVA

Prasetya (2020) menganggap legalitas arak Bali sebagai penanda bahwa miras bukan berarti hanya menimbulkan efek negatif. Meskipun alkohol memang memberikan efek negatif, namun efek tersebut akan muncul jika digunakan secara berlebihan. Ketika ada aturan konsumsi dan produksi yang jelas dan ketat, kasus yang terjadi akibat alkohol bisa ditekan. Dengan regulasi yang ketat dan detail, miras bisa menjadi komoditas yang bernilai ekonomi bagi daerah yang mengelolanya. Karena sebelumnya, alkohol masuk dalam daftar negatif investasi (DNI), banyak produsen yang terpaksa menjual arak Bali secara diam-diam, apalagi peredarannya semakin tak terbendung.

Larangan minuman keras justru tidak memberi dampak positif  dan secara efektif mampu menekan penyalahgunaan miras. Konsumsi miras ilegal juga penuh dengan risiko dan menghilangkan potensi pendapatan ekonomi. Oleh karena itu, langkah terbaik adalah melegalkannya dengan aturan yang jelas dan tegas, daripada memberantas tetapi tidak pernah efektif (Prasetya, 2020).

Dilihat dari kacama Agama Hindu, bahwa penyalahgunaan minuman keras atau miras seperti arak tergolong dosa besar. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam slokantara, sloka 16:

Barahma wadah sulapanan, suwarna steyarnewa, buwarwadho mohaoalakamacyatew

Artinya : Membunuh brahmana, meminum –minuman keras, mencuri emas, memperkosa gadisi perawan dan membunuh guru ini dinamai dosa besar.

Selain itu Agama Hindu juga melarang umatnya melakukan 5M yaitu:

  1. Maling: mencuri
  2. Minum: minum – minuman keras yang beralkohol
  3. Main: berjudi
  4. Madon: berzina
  5. Madat: penyalahgunaan narkoba

Jika kita dapat menghindarkan diri dari kelima hal tersebut di atas niscaya kita akan menemukan kedamaian, kesehatan dan kebahagiaan. Beberapa kitab suci yang memuat tentang pandangan Agama Hindu terhadap miras dan narkoba adalah:

  1. Sarasamuscaya, sloka 256: Janganlah hendaknya mengambil barang orang lain, janganlah meminum – minuman keras dan obat –obatan terlarang, melakukan pembunuhan, berdusta karena itu akan menghalangi untuk menyatu dengan Tuhan.
  2. Bhagawadgita III, 16:

Evam pravartitam cakram

Na nuvar tayatira yah

Aghayur indriyaramo

Mogham panta sajivati

Artinya: Ia yang tidak ikut memutar roda hidup ini selalu hidup dalam dosa menikmati kehendak hawa nafsunya adalah panta, ia hidup sia – sia menuruti kehendak nafsu semata berarti mereka menuju kebahagiaan dan kedamaian yang semu. Dengan mencari kenikmatan yang dilarang oleh ajaran agama seperti berfoya – foya, mengonsumsi minuman dan makan terlarang termasuk obat –obatan yang mengandung zat adiktif seperti narkoba dan miras.

  1. Bhagawadgita VI,17:

Yuktahora viharasya, yukta costasya karmasu, yakta svapna vabodhasya yogo bhavati duhidaha

Artinya: Orang yang menghindarkan diri dari makan minum yang beralkohol dan narkoba, teratur dalam kebiasaan tidur, berekreasi dan bekerja dapat menghilangkan segala rasa sakit material dengan berlatih sistem yoga.

  1. Reg Wedha VIII, 2.12:

Hrtsu pirasa yudhayante, durmandoso na suwayam

Artinya: Para pecandu yang sedang mabuk akan berkelahi diantara mereka dan menciptakan keonaran.

Dengan demikian Agama Hindu memandang narkoba dan miras sebagai barang haram karena dapat merusak kesehatan baik jasmani maupun rohani dan juga merusak keseimbangan antarunsur dalam tubuh jasmani manusia itu sendiri. Selain itu narkoba dan miras juga dipandang sebagai penghalang bagi manusia untuk dekat dengan Ida Sang Hyang Widi Wasa. Pandangan Agama Hindu terhadap minuman keras seperti arak Bali menekankan pelarangan minum minuman keras  hingga menimbulkan mabuk.

Namun jika minuman keras diminum sesuai takaran bahkan anjuran kesehatan, justru berfungsi menjaga kesehatan. Seperti dikutip dari Cerita Sudut (2020) yang menyebutkan bahwa berbeda dengan minuman keras lainnya, arak Bali juga identik dengan pengobatan tradisional Bali. Bahkan diklaim bermanfaat sebagai terapi bagi pasien COVID-19 karena tingkat kesembuhan orang tanpa gejala (OTG) yang mendapatkan terapi arak Bali mencapai 80 persen.

Selain itu dikutip dari Ramadhian (2020) disebutkan bahwa tidak hanya sebagai pengobatan, arak Bali juga bermanfaat sebagai alat kecantikan, memelihara kulit, digunakan sebagai obat rematik dan kencing manis, bahkan dapat dicampur dengan bahan makanan lain. Dengan realitas manfaat tersebut, Gubernur Koster menyampaikan manfaat arak Bali dari sisi kesehatan, ekonomis, penguatan budaya, sekaligus upaya mencegah dampak negative dari penyalahgunaan arak Bali ini.

Komitmen Gubernur Bali Wayan Koster terhadap pelestarian arak Bali menunjukkan ideologi Wayan Koster sebagai Gubernur Bali sekaligus sebagai masyarakat adat Bali untuk melestarikan budaya dan tradisi Bali. Hal ini diperoleh dari Kajian Wacana Kritis dari media massa online Balipost.com dan Nusabali.com. Dari kajian teks kedua media massa di Bali tersebut menunjukkan bahwa kedua media tersebut memberikan penekanan terhadap kebijakan Gubernur Bali Wayan Koster. Balipost.com edisi 24 Desember 2022 (https://www.balipost.com/news/2022/12/24/312847/Gubernur-Koster-Tetapkan-Hari-Arak…html) menekenankan alasan Gubernur Koster menetapkan hari arak Bali. Terlihat dari pemilihan kosa kata dan judul kecil yang ditulis Balipost.com. Sementara NusaBali.com edisi 24 Desember 2022 (https://www.nusabali.com/berita/131868/koster-tetapkan-hari-arak-bali) menekankan penetapan hari Arak Bali sebagai bentuk pelestarian budaya. Terlihat dari judul kecil yang digunakan Nusa Bali.

Tafsir sebuah teks sangat dipengaruhi oleh konteks sosial yang ada di luarnya. Praktik sosio-kultural, seperti level situasional, institusional, dan sosial memengaruhi institusi media dan wacananya. Level situasional, berkaitan dengan produksi dan konteks situasi. Tingkat kelembagaan, terkait dengan pengaruh kelembagaan secara internal dan eksternal. Tataran sosial berkaitan dengan situasi yang lebih makro, seperti sistem politik, sistem ekonomi, dan sistem budaya masyarakat.

Dua headline pada kedua media tersebut merupakan bentuk topikalisasi wacana dengan menitikberatkan pada tujuan Gubernur Bali, Wayan Koster menetapkan hari Arak Bali. Meskipun secara Agama  Hindu yang ditunjukkan dengan sloka – sloka, ada pesan untuk menghindari minuman keras atau minuman beralkohol sekelas arak Bali.

Namun dengan wacana dari kedua data terutama pada dimensi tekstual tampak bahwa Gubernur Koster ingin melegalkan miras secara Agama dengan membeberkan tujuan – tujuan penetapan Hari Arak Bali. Termasuk menyampaikan aspek manfaat kesehatan jika meminum Arak Bali sesuai takaran tertentu. Bahkan Gubernur Koster dalam berita tersebut menyebut tidak lebih dari satu sloki, memberikan manfaat bagi kesehatan.

Sementara upaya pelegalan secara hukum telah ia lakukan dengan menerbitkan Pergub Bali Nomor 1 Tahun 2020. Gubernur Bali Wayan Koster juga mengupayakan pengakuan dari berbagai lembaga untuk melegalkan dan menampik dampak negatif dari arak Bali. Seperti mengupayakan Arak Bali sebagai warisan budaya tak benda, serta mengupayakan Arak Bali mendapat Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) dari Kemenkumham sehingga dengan pengakuan tersebut semakin kuat legalitas dan pengakuan hukum di Indonesia terkait Arak Bali.

Penulis: Mahasiswa Pascasarjana Program Studi Magister Ilmu Komunikasi Hindu UHN I Gusti Bagus Sugriwa