25/12/2024

Webinar Communication Series #2– Bahas Komunikasi Lintas Budaya Dalam Moderasi Beragama

 Webinar Communication Series #2– Bahas Komunikasi Lintas Budaya Dalam Moderasi Beragama

Prodi Magister Ilmu Komunikasi Hindu Pascasarjana UHN I Gusti Bagus Sugriwa Denpasar menyelenggarakan Webinar Series of Communication Series#02 pada Jumat (25/2/2022). Webinar Communication Series #2 kali ini menghadirkan pembicara dari UIN Sunan Gunung Djati, Bandung Prof. Dr. H. Asep Saeful Muhtadi, M.Si., dan pembicara UHN IGB Sugriwa yaitu Prof. Dr.Dra. Relin, D.E. sebagai keynote speaker yang juga Direktur Pascasarjana UHN IGB Sugriwa, Prof. Dr. Drs. I Nengah Duija, M.Si., Prof. Dr. I Nyoman Yoga Segara, S.Ag., M.Hum.

 

Webinar Series of Communication#02 diselenggarakan oleh Program Studi Magister Ilmu Komunikasi Hindu dengan melibatkan mahasiswa angkatan 2021 sebagai panitia. Program Webinar ini merupakan media dan mimbar Akademik yang membahas isu-isu seputar fenomena Komunikasi dan permasalahan sosial.

Webinar itu diikuti oleh 200 peserta dari berbagai perguruan tinggi. Sebagai pembuka webinar, Direktur Pascasarjana UHN IGB Sugriwa Prof. Dr. Dra. Relin, D.E, M.Ag menyampaikan, keragaman seperti keragaman budaya, latar belakang keluarga, agama, dan etnis saling berinteraksi dalam komunitas masyarakat Indonesia.

 

Dalam komunikasi horizontal antar masyarakat, Mulyana (2008) menyebut, benturan antar suku masih berlangsung di berbagai wilayah, mulai dari sekedar stereotip dan prasangka antar suku, diskriminasi, hingga ke konflik terbuka dan pembantaian antar suku yang memakan korban jiwa.

 

Keragaman suku, ras, agama, perbedaan bahasa dan nilai-nilai hidup yang terjadi di Indonesia sering berbuntut pada berbagai konflik. Konflik di masyarakat yang bersumber pada kekerasan antar kelompok yang meledak secara sporadis di berbagai kawasan di Indonesia menunjukkan betapa rentannya rasa kebersamaan yang dibangun dalam Negara-Bangsa Indonesia, betapa kentalnya prasangka antara kelompok dan betapa rendahnya saling pengertian antar kelompok.

 

Konflik berbasis kekerasan di Indonesia seringkali berakhir menjadi bencana kemanusiaan yang cenderung berkembang dan meluas baik dari jenis maupun pelakunya. Hal ini yang menjadikan proses penanganan konflik membutuhkan waktu lama dengan kerugian sosial, ekonomi, dan politik yang luar biasa.

 

Persaingan antar suku tidak hanya di kalangan masyarakat tetapi juga dikalangan elit politik bahkan akademisi untuk menempati jabatan di berbagai instansi. Dalam masyarakat multikultural, interaksi sesama manusia cukup tinggi intensitasnya, sehingga kemampuan sosial warga masyarakat dalam berinteraksi antar manusia perlu dimiliki setiap anggota masyarakat.

Baca Juga :  Booth UMK Binaan PLN Tawarkan Berbagai Produk Khas Daerah di INACRAFT 2024

Prof. Asep menyebut, akar dari konflik bukan berakar dari agama sebab tidak ada agama yang mengajarkan kekerasan apalagi konflik. Konflik biasanya dipicu oleh faktor lain yang dapat menyemangati timbulnya sikap dan perilaku yang sangat tidak produktif. Cemburu, prasangla dan sebangsanya biasanya merupakan sikap – sikap yang dapat memicu kekerasan. Hal ini timbul karena tidak adanya usaha klarifikasi.

 

Prof Duija dalam pemaparan materinya menyampaikan, konflik yang terjadi antar golongan, etnis atau kelompok tidak lepas dari kemampuan dan kematangan pendidikan seseorang menangkap simbol – simbol. “Bahwa agama dan ilmu adalah renungan atau kontemplasi atas pengalaman,” ujarnya.

 

Teologi sebagai poros perenungan pengalaman paling dalam, maka dari itu sangat penting hadirnya ilmu pengetahuan. “Kebenaran absolut tidak ditafsirkn pada kebenaran yang relatif, porosnya adalah perenungan secara sistematis yang dapat dilihat secara empiris,” jelasnya.

 

Baca Juga :  Kembangkan Pertanian, Kadin Bali Bentuk Kelompok Tani Pola Organik pada Sistem Subak Bali

Sementara Prof. Yoga juga menyampaikan hal sama bahwa hambatan komunikasi lintas budaya seperti fenomena gunung es yang terbagi menjadi dua  yaitu yang terbenam di bawah air dan yang tampak dibatas air. Hambatan yang berada di bawah air adalah faktor – faktor yang membentuk perilaku atau sikap seseorang dan hambatan ini kadang sulit dilihat atau diperhatikan seperti persepsi, norma, stereotipe, filosofi bisnis, aturan, jaringan, nilai, subculture group. Sedangkan hambatan yang di atas air antara lin fisik, budaya, perceptual, motivasi, pengalaman, emosional, linguistik, komunikasi non verbal, kompetisi.