Agama Lokal Perlu Pembinaan Pemerintah
Agama Hindu, Budha, Islam, Kristen Katolik, Kristen Protestan disebut dan diakui negara sebagai agama resmi. Padahal agama tersebut merupakan agama “impor” dari luar nusantara. Sementara di Nusantara telah berkembang dengan subur agama lokal dengan tradisi dan kebudayaan yang ada di masing – masing daerah.
Guru Besar Antropologi UHN IGB Sugriwa Prof. Dr. I Nyoman Yoga Segara, S.Ag., M.Hum.menuturkan, jumlah penganut agama lokal yang sering pula disebut kepercayaan lokal dan penghayat kepercayaan, cukup besar dan tersebar di seluruh Indonesia. Namun mereka tidak mendapatkan pembinaan dan pelayanan yang maksimal dari negara, terutama pelayanan dibidang pencatatan sipil dan administrasi kependudukan, seperti akta kelahiran, perkawinan dan kematian, serta terutama belum mendapatkan rekognisi atas kepercayaan yang mereka anut. Intinya, mereka menginginkan kesetaraan dengan agama resmi.
Seperti halnya yang dialami penganut kepercayaan Hindu Alukta di Tana Toraja, Sulawesi Selatan yang kehadirannya telah ada sejak keberadaan Tana Toraja itu sendiri, dan kini mendiami hampir seluruh Provinsi Sulawesi Selatan hingga ke Sulawesi Tengah. Bahkan Toraja menjadi salah satu suku terbesar di Sulawesi Selatan selain Bugis, Makassar dan Mandar.
“Yang menjadi masalah adalah ketika beberapa tokoh penting Aluk Todolo telah menyatakan berintegrasi dengan agama Hindu, ternyata mereka sampai saat ini tetap menerima stigma sebagai penganut animisme dan bahkan disebut tidak beragama. Oleh karena itu, terdapat pengabaian dari negara terhadap keberadaan Hindu Alukta di Tana Toraja, Sulawesi Selatan,” ungkap Yoga menyampaikan hasil penelitiannya.
Sebelum adanya pengakuan dari negara melalui Keputusan MK, agama lokal atau kepercayaan lokal sebenarnya juga tidak memiliki kemampuan secara otonom sehingga sangat rentan diintervensi secara politik maupun dikonversi. Untuk menyebut beberapa kasus yang sama di Indonesia, nasib Hindu Alukta di Tana Toraja juga serupa dialami suku Tolotang, komunitas wetu telu di Lombok hingga mungkin saja Hindu Kaharingan.
Secara konseptual, persoalan tentang agama dan kepercayaan, terlebih yang melibatkan otoritas negara mungkin dapat didefinisikan, namun akan tetap rentan terhadap kritik terutama menyangkut implementasi dan praktiknya di lapangan.
“Agama dan kepercayaan haruslah tetap dipahami sebagai dua hal berbeda karena masing-masing memiliki bangunan epistemologi dengan tuas yang terus bergerak dinamis. Belum selesai memahami secara tepat keduanya, khusus pada penganut kepercayaan lokal, ketika mereka memilih berintegrasi dengan agama mainstream yang sudah diakui negara juga tetap memiliki sejumlah masalah,” ungkapnya.
Menurutnya cara pandang terhadap agama, kepercayaan dan “agama baru” tersebut harus berubah. Jika hanya negara yang memiliki otoritas untuk memberikan pelayanan dan pembinaan, maka ketiganya juga harus mendapat perhatian yang besar. Tindakan ini bukan semata untuk menyelamatkan status formal entitas tersebut tetapi lebih sebagai manifestasi dari penghargaan atas hak asasi manusia dan hak-hak hidup lainnya.