Pandangan Antropolog Tentang Agama Sunda Wiwitan
Agama – agama lokal di Nusantara cukup banyak jumlahnya. Agama lokal atau penghayat kepercayaan bukan tidak resmi melainkan diakui negara dan semestinya mendapat pembinaan agama. Bahkan agama lokal telah hidup sebelum agama impor masuk yaitu Agama Hindu, Budha, Islam, Kristen Protestan dan Katolik. Salah satu, agama lokal yang menarik diangkat untuk dilestarikan adalah Agama Sunda Wiwitan.
Antropolog dari UHN IGB Sugriwa Prof. Dr. I Nyoman Yoga Segara, S.Ag., M.Hum. dalam webinar Pelestarian Budaya Nusantara di Jagat Pasundan Sabtu (19/2) menjelaskan, indigeneous knowledge (kearifan lokal) penganut Sunda Wiwitan adalah sebagai penopang kerukunan di Cireundeu, Cimahi. Hal ini pernah diteliti oleh Zaenal Abidin Eko Putri dan Kustini Kosasih.
Penelitian agama Sunda Wiwitan dilakukan di Cireundeu, meskipun agama ini juga ada di Kanekes, Banten. Begitu juga Agama Cigugur di Kuningan. Selain itu, ditemukan bahwa penganut Sunda Wiwitan, berbeda dengan orang Baduy yang mengaku jika sebutan Sunda Wiwitan datang dari orang di luar Baduy, yang menilai kepercayaan mereka.
Orang Baduy menyebut kepercayaan mereka “Slam Wiwitan” atau Islam Wiwitan dengan menganut Islam secara tarekat atau konsep saja, bukan syariat sehingga mereka tidak salat dan tidak berpuasa tetapi mempercayai Adam sebagai nabi pertama.
Sunda Wiwitan diartikan sebagai Sunda yang paling awal dan bagi mereka agama bukan sarana penyembahan, namun sarana aplikasi dalam kehidupan. Oleh karena itu mereka memegang teguh tradisi dan jarang sekali ditemukan situs – situs penyembahan. Secara rutin mereka menggelar Tahun Baru Saka I Sura atau tutup tahun.
Dalam sejarahnya Sunda Wiwitan atau Sunda Karuhun atau Agama Djawa Sunda (ADS) di Kampung Aday Cirendeu dibawa oleh Pangeran Madrais yang berasal dari Kesultanan Gebang, Cirebon Timur sejak tahun 1918 dan membangun basis penganutnya di Cigugur, Kuningan, Jawa Barat.
Pangeran Madrais atau Pangeran Sadewa Alibassa adalah keturunan Kesultanan Gebang yang berada di Wilayah Cirebon Timur. Berkembangnya sistem kepercayaan Sunda Wiwitan ketika Pangeran Madrais tinggal di Cirendeu, Leuwigajah, Cimahi, Jawa Barat.
Menurutnya, indigenous sebagai suatu bentuk kebudayaan nusantara, nyata ada dalam sistem pengetahuan Sunda Wiwitan yang sepenuhnya diarahkan untuk ageman hidup membangun harmoni dan toleransi dengan sesama, membangun sikap superior, percaya diri meskipun mereka minoritas, memahami manusia secara dualitas dan meyakini manusia manunggal dengan Tuhan dan manusia tidak pernah sendiri karena Tuhan itu tidak di selatan, di utara, di barat atau di tempat manapun melainkan menyatu, manunggal pada manusia. Sistem pengetahuan Sunda Wiwitan juga diarahkan untuk mencintai alam dan menjaga ketahanan pangan.
Dalam webinar Pelestarian Budaya Nusantara di Jagat Pasundan itu juga hadir Dewa K. Suratnaya. Ia menyampaikan terkait upaya yang bisa dilakukan untuk menjaga kelestarian budaya nusantara. Diantaranya menggali sejarah dan situs, menggali kearifan lokal, mengedepankan dalam festival, dan menegakkan ciri khas masyarakan nusantara melalui seni dan makanan.