Kredit Investasi Tumbuh 33 Persen, Prospek Ekonomi di Bali Cerah
Sektor Jasa Keuangan di Bali dan Nusa Tenggara tumbuh positif berdasarkan data hingga Mei 2025. Kinerja positif tersebut salah satunya ditopang oleh pertumbuhan kredit investasi 33 persen.
Kepala OJK Bali Kristrianti Puji Rahayu, Jumat (11/7/2025) mengatakan, kinerja intermediasi perbankan (Bank Umum dan BPR) di wilayah Bali dan Nusa Tenggara posisi Mei 2025 menunjukkan daya tahan yang solid. Penyaluran kredit maupun penghimpunan Dana Pihak Ketiga (DPK) mengalami pertumbuhan dari periode sebelumnya. Penyaluran kredit mencapai Rp236,53 triliun atau tumbuh 7,74 persen yoy, meningkat dibandingkan April 2025 yang sebesar 6,74 persen yoy (Mei 2024: 10,69 persen yoy).
Berdasarkan jenis penggunaannya, sebesar 58,29 persen kredit di wilayah Bali dan Nusa Tenggara disalurkan kepada kredit produktif, yaitu 33,23 persen dalam bentuk modal kerja dan 25,06 persen dalam bentuk investasi.
Pertumbuhan kredit yoy didorong oleh peningkatan nominal kredit investasi yang bertambah sebesar Rp14,87 triliun atau tumbuh 33,47 persen yoy lebih tinggi dibandingkan April 2025 yang tumbuh sebesar 31,50 persen yoy (Mei 2024: 26,34 persen yoy). Tingginya pertumbuhan kredit investasi ini menggambarkan meningkatnya kepercayaan masyarakat terhadap prospek kondisi ekonomi di wilayah Bali dan Nusa Tenggara.


Berdasarkan sektornya, penyaluran kredit perbankan di wilayah Bali dan Nusa Tenggara didominasi oleh Sektor Penerima Kredit Bukan Lapangan Usaha dengan market share sebesar 41,71 persen dan Sektor Perdagangan Besar dan Eceran sebesar 23,92 persen.
Peningkatan nominal kredit di Provinsi Bali utamanya disumbangkan oleh Sektor Penyediaan Akomodasi dan Penyediaan Makan Minum yang bertambah sebesar Rp2,1 triliun (tumbuh 18,12 persen yoy). Sementara itu, di Provinsi NTB, peningkatan nominal kredit terbesar berasal dari Sektor Pertambangan dan Penggalian yang bertambah sebesar Rp6,27 triliun (tumbuh 58,22 persen yoy). Sedangkan di Provinsi NTT, peningkatan nominal kredit terbesar berasal dari oleh Sektor Penerima Kredit Bukan Lapangan Usaha yang bertambah sebesar Rp1,44 triliun (tumbuh 5,62 persen yoy).
Berdasarkan kategori debitur, sebesar 42,21 persen kredit di wilayah Bali dan Nusa Tenggara disalurkan kepada Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) dengan pertumbuhan sebesar 1,57 persen yoy, sedikit melandai dibandingkan April 2025 yang sebesar 2,16 persen yoy. Tingginya porsi penyaluran kredit perbankan kepada UMKM menunjukkan keberpihakan bank untuk mendukung pertumbuhan ekonomi daerah.
Seiring dengan pertumbuhan penyaluran kredit, penghimpunan DPK juga mengalami pertumbuhan positif. Penghimpunan DPK posisi Mei 2025 mencapai Rp283,67 triliun atau tumbuh 7,70 persen yoy, meningkat dibandingkan posisi April 2025 yang sebesar 6,46 persen yoy (Mei 2024: 16,29 persen yoy). Berdasarkan jenisnya, peningkatan DPK dibandingkan Mei 2024 ditopang oleh kenaikan nominal tabungan sebesar Rp11,62 triliun dan deposito sebesar Rp6,2 triliun.
Fungsi intermediasi yang tercermin dari Loan to Deposit Ratio (LDR) posisi Mei 2025 sebesar 83,38 persen, sedikit meningkat dibandingkan posisi yang sama tahun sebelumnya yang sebesar 83,35 persen (April 2025: 83,92 persen).
Adapun kecukupan modal BPR yang tercermin pada likuiditas BPR (Cash Ratio/CR) dan Capital Adequacy Ratio (CAR) relatif terjaga. Rasio CR BPR di Bali sebesar 14,23 persen, Nusa Tenggara Barat (NTB) sebesar 17,3 persen, dan Nusa Tenggara Timur (NTT) sebesar 7,09 persen.
Sementara, CAR BPR di Bali sebesar 33,84 persen, NTB sebesar 47,38 persen, dan NTT sebesar 45,68 persen. Tingginya permodalan perbankan diyakini mampu menjadi bantalan yang kuat di tengah ketidakpastian global dan OJK akan terus mendorong kinerja intermediasi dengan tetap menjaga keseimbangan antara pertumbuhan pembiayaan dan terjaganya likuiditas.
Kualitas kredit perbankan di wilayah Bali dan Nusa Tenggara tetap terjaga di bawah threshold (5 persen) dengan Non Performing Loan (NPL) gross sebesar 3,20 persen sedikit lebih tinggi dibandingkan posisi April 2025 yang sebesar 3,19 persen (Mei 2025: 2,83 persen).
Ke depan, tetap perlu diperhatikan risiko perbankan utamanya risiko pasar dan dampaknya pada risiko likuiditas terkait sentimen suku bunga global yang masih tetap tinggi, serta potensi peningkatan risiko kredit akibat sentimen negatif yang berasal baik dari dalam maupun luar negeri. Untuk itu perbankan diminta meningkatkan daya tahannya melalui penguatan permodalan dan menjaga coverage CKPN dan PPAP secara memadai, serta secara rutin melakukan stress test untuk mengukur kemampuan permodalannya dalam menyerap potensi risiko.6