Early Warning, Ekonomi Kritis 2026
Bukan menakut-nakuti, tapi ini adalah early warning bahwa situasi tahun depan terutama usai pertengahan tahun, tidak baik-baik saja. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah merilis kinerja keuangan Lembaga Jasa Keuangan (LJK) di Bali Nusra Agustus 2025.
Hasilnya, penyaluran kredit melandai dibandingkan 2024 yaitu sebesar Rp241,52 Triliun (6,89 persen yoy), sedangkan tahun sebelumnya tumbuh cukup moderat 8,30 persen yoy. Bahkan Juli 2025 pun, kredit tumbuh 7,61 persen.
Kredit yang disalurkan itupun didominasi oleh sektor bukan lapangan usaha dan perdagangan besar dan eceran, yang menandakan masyarakat meminjam kredit untuk aktivitas non usaha. Dengan demikian pergerakan ekonomi, terutama dari sektor swasta akan melambat.


Bahkan di Bali terjadi peningkatan nominal kredit sebesar Rp1,92 Triliun yang datangnya bukan dari lapangan usaha.Kredit bermasalah di bank juga mengalami kenaikan dibandingkan tahun lalu yaitu dari 2,95 persen pada Agustus 2024 menjadi 3,12 persen pada Agustus 2025.
Lalu apakah masih relevan, perbankan digelontorkan dana Rp200 Triliun untuk disalurkan dalam bentuk kredit sementara kemampuan serapannya melemah dan kualitas kreditnya memburuk?
Selain itu laporan kinerja Dana Pihak Ketiga (DPK) juga melandai dibandingkan Agustus 2024. Apakah saat ini masyarakat sedang kekurangan uang untuk bertahan hidup dan upacara, sehingga tak bisa menabung atau bahkan tabungan ditarik besar-besaran.
Tahun 2026, dinilai jadi tahun yang berat pasalnya, Transfer ke Daerah (TKD) dipangkas besar-besaran oleh pemerintah pusat. Sedangkan beberapa daerah mengandalkan TKD untuk menjalankan program dan menggerakkan perekonomian daerah.
Jika dengan alasan Pemda telah mandiri dengan porsi Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang lebih tinggi dari TKD, maka yang jadi dampak adalah masyarakat karena dikenakan pajak lagi. Terbukti, pajak bumi dan bangunan pedesaan- perkotaan (PBB P2) yang berdampak langsung ke masyarakat, naik meski ada berbagai keringanan fiskal atau diskon.
Tapi toh masyarakat kena pajak lagi. Sementara selama ini masyarakat telah membayar pajak penghasilan (PPh), pajak penjualan (PPn) dari setiap barang yang dibeli. Masyarakat dibebani pajak namun negara tak kunjung memberi kesejahteraan dan kemakmuran.
TKD selama ini banyak digunakan untuk pembangunan di daerah dan mampu menggerakkan ekonomi daerah. Jika anggaran dipusatkan di pemerintah pusat, maka sektor swasta di daerah tentu memiliki sedikit peluang.
Sentralisasi anggaran di pemerintah pusat, cenderung melemahkan otonomi daerah yang selama ini cukup berhasil membangun daerahnya masing-masing. Pemerintah pusat yang akan melakukan pembangunan di daerah juga membutuhkan dukungan daerah. Jika TKD dipangkas, maka bagaimana pemda dapat mendukung proyek nasional di daerah?
Hal ini menjadi kontraproduktif, di tengah pemerintah pusat secara jor-joran menjalankan berbagai program dan proyek ambisius, namum mengorbankan kontribusi daerah dalam pembangunan.