Ipung Punya Bukti Kuat Kepemilikan Lahan di Serangan, Siap Tempuh Jalur Hukum
Perjuangan Siti Sapurah untuk kembali mendapatkan hak atas tanah seluas 710 meter persegi yang telelatak di Kampung Bugis Serangan yang diatasnya di bangun jalan oleh pemerintah kota Denpasar perlahan namun pasti mulai menemui titik terang.
Ini setelah pihak Badan Pertanahan Nasional (BPN) Denpasar yang diwakili oleh Kasi Penanganan Sengketa dan Konflik, Jumat (26/8/2022) mengundang pihak terkait, seperti PT BTID, Bendesa Adat Serangan, Lurah Serangan dan Ipung sebagai pihak yang keberatan karena tanahnya di HGB-kan oleh pihak BTID di Serangan.
Dalam pertemuan yang berlangsung kurang lebih 2 jam itu, awalnya pihak BPN meminta kepada Ipung sebagai pihak yang keberatan menunjukkan batas tanah atau tanah miliknya sesuai dengan data dan putusan pengadilan yang kantonginya. Setelah itu pihak BTID diberi kesempatan untuk mengkonter apa yang telah diperlihatkan oleh pihak Ipung.
Pihak BTID mengatakan bahwa tanah yang dibangun jalan itu adalah miliknya berdasarkan Sertipikat Hak Guna Bangunan (SHGB) nomor 82. Meski begitu, Ipung tidak menyerah begitu saja. Dengan data dan sejumlah fakta yang diketahuinya, Ipung terus bersikeras bahwa tanah yang dibangun jalan ini adalah miliknya.
Hingga akhirnya pihak BTID yang awalnya juga sempat menjelaskan seputar tanah tersebut mengatakan bahwa siap menghadapi Ipung di Pengadilan.” Tanah yang diributkan ini adalah milik BTID sebagaimana termuat dalam HGB no 82. Nanti kita saling buktikan di pengadilan,” kata perwakilan BTID.
Sementara Ipung kepada wartawan mengatakan bahwa, apa yang jadi dalam pertemuan singkat di Serangan itu sudah membuatnya cukup senang. Apalagi Ipung menganggap bahwa pihak BTID hanya mau berdebat tanpa menunjukkan bukti.
“Saya senang sekali tadi dengan jawaban dari pihak BTID, mau berdebat, tapi sayang itu hanya perdebatan mulut saja karena tidak ada bukti, kalau sepeti ini semua orang bisa bilang begitu,” terang Ipung yang ditemui usai pertemuan.
Ipung mengatakan bahwa, SHGB yang ada pada pihak BTID hanya hak guna bangunan yang artinya tidak bisa memiliki tanah itu.”HGB itu sama dengan sewa atau kontrak lah karena itu tidak bisa memiliki tanah itu,” jelas Ipung. Tapi Ipung merasa aneh dengan HGB yang ada pada BTID.
Ipung mengatakan, bagaimana BTID bisa memiliki HGB yang terbit tahun 1993 sementara di tahun 1993 BTID belum ada di Serangan atau belum melakukan reklamasi di Serangan. Ipung juga menjelaskan bahwa, dia baru mengetahui BTID memiliki HGB diatas tanahnya itu dari Pemeritah Kota Denpasar.
“Jadi saya baru tahu kalau BTID punya HGB setelah Walikota Denpasar membalas surat keberatan saya yang saya kirim pada tanggal 17 Mei 2022 dan di balas pada tanggal 25 Juni 2022. Dalam surat balasan itu Pemkot tidak lagi mengatakan tanah berdasarkan SK tahun 2014 tetapi tanah itu adalah milik BTID berdasarkan HGB No 81, 82 dan 83,” ujar Ipung.
Atas jawaban dari Walikota Denpasar itu, Ipung lalu melayangkan surat keberatan ke pihak BPN Denpasar terkait adanya HGB No 81, 82 dan 83. Atas surat keberatan ini, pada tanggal 29 Juli 2022 jam 11 siang, Ipung mengatakan dipanggil oleh pihak BPN Denpasar dengan maksud mengklarifikasi data.
“Pada saat saya dipanggil oleh pihak BPN, semua dokumen saya bawa. Ada 15 putusan mulai dari putusan tingkat Pengadilan Negeri hingga putusan dari Mahkamah Agung (putusan PK). Jadi putusan pengadilan yang saya bawa ini mulai dari putusan tahun 1974 hingga purusan tahun 2020,” kata Ipung.
Lima belas putusan dan lima putusan yang menetapkan bahwa tanah tersebut milik Daeng Abdul Kadir putusan tersebut adalah, putusan Pengadilan Negeri NO. 99/Pdt. G/1974/PN. Dps, putusan Pengadilan Tinggi NO. 238/Pdt/1975/PT. Dps, putusan Pengadilan Negeri NO. 588/Pdt. G/2017/PN. Dps, putusan Pengadilan Tinggi NO. 150/Pdt/2018/PT. Dps dan putusan Mahkamah Agung atau putusan PK NO. 796 PK/PDT/2020.
Selain itu, dalam pertemuan Ipung juga membawa pipil, fotocopy satu set seluas 12 are dan bukti pembayaran pajak 2 hektar 14 are. “Dan saya juga bawa foto peta gambar tanah saya kepada BPN,” ungkap wanita yang juga salah satu pengacara senior di Bali ini.
Atas dokumen yang diberikan kepada pihak BPN itu, Ipung mengatakan bahwa pihak BPN juga mengakui bahwa jika melihat dari dokumen yang ada padanya memang benar tanah yang dibangun jalan ini adalah milik Ipung. Nah, dari pertemuan di tanggal 29 Juli 2022 ini, Ipung mengatakan dia baru mengetahui bahwa HGB No 81, 82 dan 83 atas nama BTID itu adalah pecahan dari HGB No 4 yang diterbitkan pada bulan Juni 1993 dan akan berakhir pada bulan Juni 2023.
“Ini bagaimana ceritanya, kenapa bisa jadi HGB 81, 82 dan 83? Jadi menurut saya dengan memecah HGB no 4 menjadi tiga HGB ini adalah untuk mengaburkan HGB no 4 yang diterbitkan tahun 1993 itu. Makanya 2016 dan 2017, HGB nomor 4 yang awalnya diterbitkan bulan Juni 1993 dipecah untuk menutupi HGB nomor 4. Jelas sudah mau mengaburkan yang no 4 ini,” ungkapnya.
Ipung juga menyinggung soal jalan lingkar yang ada pada berita acara penyerahan lahan dari BTID ke pihak Desa Adat Serangan. “Jalan lingkar ini dari pintu masuk Pulau Serangan, depan jembatan melingkar di tepi Pulau Serangan jalan tanah yang diurug sebagai jalan sampai berhenti di penangkaran penyu, yang panjangnya 2 hektar 115 kilometer, Itu jalan lingkar. Makanya tadi, bagaimana ceritanya lompat menjadi jalan lingkar kesini,” jelasnya.
Ipung menambahkan, kata Desa Adat
tanah yang disebut miliknya ini dulu adalah jalan setapak. Artinya jelas bahwa tanah itu bukan diminta untuk dijadikan jalan dan diambil. “Tidak mungkin diberikan sebagai jalan utama. Karena apa 2009, ibu saya digugat oleh 36 KK Warga Kampung Bugis yang menempati tanah saya tanpa hak yang juga adalah sertifikat nomor 69 yang luasnya 94 are, artinya secara yuridis siapa yang punya tanah ini,” ujar Ipung bertanya.
“Lalu di tahun 1993 muncul bahwa tanah ini adalah milik BTID, terus artinya putusan pengadilan yang ada pada saya itu apa?
Saya hanya ingin menantang apakah pihak BTID apbila bisa membatalkan putusan hakim yang sudah sampai tingkat PK itu silahkan ambil tanah saya ini,” tandas Ipung.
Lalu apa sikap Ipung selanjutnya setelah pihak BTID secara terang-terangan menyebut tanah itu miliknya berdasarkan HGB no 82? Untuk sementara Ipung memberikan kesempatan kepada BPN untuk melakukan mediasi.
“Tetapi, jika nanti mentok atau semua pada kekeh, saya terpaksa mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Denpasar, atau tidak menutup kemungkinan, saya akan laporkan adanya penyerobotan atas tanah saya ini sesuai dengan pasal 385 KUHP. Saya tetap akan melakukan proses hukum ke pengadilan untuk mengambil tanah ini secara sah dan secara hukum,” terang Ipung.
Ipung juga mengatakan bahwa, dia menduga ada pihak yang bermain atau dugaan adanya mafia tanah dalam perkara ini.”Karena bagaimana mungkin, tanah saya bisa dieliminir 30 tahun tanpa konfirmasi sama keluarga saya, ada ahli waris sebelum saya. Sedangkan saya yang memegang sertifikat dari dulu baru tahu tanah saya ada HGB selama 30 tahun,” pungkasnya.
Sementara perwakilan dari Desa Adat Serangan yang ikut hadir dalam pertemuan ini mengatakan, pihak nya juga ingin ikut mencari tahu bagaimana atau atas dasar apa bisa terbit HGB atas nama PT BTID itu. “BTID bisa megang HGB itu dasarnya apa, ini yang harus dicari tahu,” ujar pria yang sering dipanggil Kemuk Antara kepada wartawan.
Dia lalu mengatakan bahwa, jika Haji Maisarah mengatakan tanah adalah miliknya, itu jelas karena memiliki bukti dan dasar yang kuat. “Kalau bicara soal jalan ini, memang kita tidak tahu siapa yang punya, tapi kalau melihat dari bukti yang ada seperti pipil, maka pemiliknya akan ketahuan,” ungkap Kemuk Antara.
Namun demikian, dia mengatakan bahwa untuk lebih jelas dan lebih mempertegas lagi soal kepemilikan tanah termasuk batas-batasnya, biarlah pihak-pihak terkait yang nanti menjelaskannya, “Saya katakan saya tidak tahu tanah ini milik siapa. Tapi saya merasa terkejut melihat di BPN ada HGB diatas jalan ini,”pungkasnya.
Ditempat yang sama, I Wayan Karma yang merupakan Lurah Serangan mengatakan bahwa, tanah atau lahan milik Mai Sarah yang dijadikan jalan ini sebenarnya sudah ada surat penyererahan dari pihak Mai Sarah. “Tapi setelah saya cari-cari surat pernyerahan lahan itu tidak ketemu lagi sudah hilang,” tutupnya. Mpr